Bobotoh: Sebuah Nama, Sebuah Konsep
Di bangku cadangan, Robbie Gaspar mencoba memejamkan mata. Di
sekelilingnya, pada bangku-bangku stadion Siliwangi, tidak ada ribuan
bobotoh. Laga Persib vs Persipura [29/4] memang digelar tanpa penonton.
Gaspar sengaja memejamkan mata untuk menghayati suara bobotoh bernyanyi,
menyalakan mercon dan kembang api sepanjang pertandingan di sekeliling
Stadion Siliwangi.
“One of the most surreal experiences i have experienced: No fans in
the stadium but we can hear you,” kata Gaspar, gelandang berpaspor
Australia yang musim ini memperkuat Persib.
Kendati laga Persib vs Persipura digelar tanpa penonton, toh bobotoh
tetap berdatangan. Satu jam sebelum pertandingan, seribuan bobotoh
konvoi jalan kaki keliling Siliwangi sembari. Saya berjumpa dengan 12
orang bobotoh yang berangkat dari Jogjakarta pada malam sebelum
pertandingan.
Bobotoh dan Persib memang tak mungkin dipisahkan. Jauh sebelum fans
club bertebaran dan menjadi tren di seluruh Indonesia, bobotoh sudah
lebih dulu eksis. Majalah “Olah Raga”, media massa khusus olahraga yang
diterbitkan oleh Otto Iskandar Dinata pada 1937, sudah memberitakan
keberadaan bobotoh yang hadir mendukung Persib Bandung yang bermain di
daerah Tegalega dan Ciroyom.
Ami Raksanagara, dalam esai menarik “Kuring, Apa Jeung Persib” [Saya,
Ayah dan Persib] di Majalah Mangle edisi 2366, mengisahkan pengalaman
masa kecilnya menonton Persib bersama sang ayah dan adiknya pada tahun
1950-an. Ami Raksanagara, penyair Sunda ini, menceritakan antusiasme
bobotoh pada Persib tak berkurang dari waktu ke waktu, hanya cara
mengekspresikannya saja yang dari waktu ke waktu terus berubah.
Lain lagi kenangan Usep Romli, sastrawan Sunda kelahiran Garut, yang
juga rutin menonton Persib pada dekade 1960-an. Usep menulis: “Jika
Persib me¬nang, cukup bersorak-sorai di dalam stadion. Dilanjutkan pada
waktu pulang dengan cara mengibar-ngibarkan sapu tangan atau koran. Jika
Persib kalah, cukup dengan membungkam. Stadion sepi bagai ‘gaang
katincak’ [serangga terinjak].”
Dalam tulisan mengenang masa remajanya menonton Persib, Usep harus
berangkat dari Garut sejak pukul 11 siang. Numpang truk pasir atau
sayuran. Turun daerah Cicadas lalu jalan kaki ke arah Sidolig [stadion
lama Persib]. Pulangnya ke Limbangan Garut keesokan harinya, naik kereta
api dari Kiaracondong. Turun di Cibatu. Jalan kaki ke Limbangan, atau
(kalau kebetulan ada) ikut truk pasir hingga daerah Sasakbeusi.
Pada era 1980an, masa keemasan Persib, Siliwangi selalu penuh dengan
penonton. Persib saat itu dipenuhi bintang-bintang lokal dari
Sukowiyono, Adeng Hudaya sampai bintang-bintang muda seperti Adjat
Sudrajat. Pada salah laga di musim 1985, penonton yang membludak sampai
tepi lapangan menghambat jalannya pertandingan. Bobotoh baru bisa tenang
saat Gubernur Jawa Barat, Solihin GP, datang ke Siliwangi dengan
menggunakan helikopter yang mendarat di Siliwangi.
Jika Persib bertanding di Jakarta, khususnya pada putaran final
Divisi Utama, bobotoh selalu membirukan Senayan. Rombongan bobotoh
terbanyak berangkat bersama-sama dari Sidolig. Atmosfir Bandung pun
penuh dengan pembicaraan tentang Persib. Jelang laga final Perserikatan
1985 nan legendaris yang mempertemukan Persib vs PSMS, mesjid-mesjid di
Bandung menyerukan kepada warga sekitar untuk mendoakan Persib.
Laga final Divisi Utama Perserikatan 1985 antara Persib dan PSMS
Medan memang akan dikenang sebagai salah satu laga hebat dalam sejarah
sepak bola Indonesia. Senayan disesaki lebih dari 120 ribu penonton,
mayoritas bobotoh. Laga itu dicatat sebagai rekor dunia partai sepakbola
amatir paling banyak ditonton menurut buku resmi AFC terbitan tahun
1987. Laga harus terhenti beberapa kali karena penonton merengsek sampai
ke dalam lapangan.
Persib kalah secara tragis melalui adu penalti, tapi tidak ada
kerusakan dan kerusuhan yang berdarah antara dua kelompok suporter. Ada
beberapa insiden kecil tentu saja, tapi tak bereskalasi besar. “Saya
cuma lihat ada bobotoh berantem dengan orang Medan dekat patung besar
Senayan karena diledek supporter Medan, tapi ya cuma itu aja,” kenang
Thanon Aria, bobotoh yang saat itu masih duduk di bangku SD.
Thanon bercerita bagaimana bobotoh menyerbu Senayan dari Bandung
dengan bus, kendaraan pribadi sampai motor. Mereka berangkat dengan
penuh semangat. Sepanjang perjalanan, satu sama lain saling berlomba
menyalakan klakson. Malamnya, setelah pulang dari stadion menyaksikan
kekalahan Persib, bobotoh kembali berduyun-duyun pulang, kali ini dengan
diam, sunyi. Seperti gaang katincak, meminjam istilahnya Usep Romli.
Para pemain Persib akan malu bukan main jika Persib kalah. Indra
Tohir, pelatih terakhir yang mempersembahkan gelar juara bagi Persib,
mengaku betapa tidak nyamannya jika Persib kalah. “Orang-orang yang
lewat di depan rumah kadang sengaja bicara keras soal kekalahan Persib.
Anak saya gak akan mau masuk sekolah karena teman-temannya pasti
ngeledek,” kata Indra.
Hal sama juga diceritakan Max Timisela, bontot dari kuartet keluarga
Timisela yang menjadi legenda Persib. Max mengaku tak berani ke luar
rumah jika Persib kalah. “Telinga pasti panas. Baru jalan ke luar gang
orang-orang sudah sibuk bertanya tentang kekalahan Persib,” kenang Max,
gelandang hebat yang sempat diminati Werder Bremen ini.
Tapi jangan diceritakan saat Persib berhasil menjuarai Divisi Utama
Perserikatan 1986 dengan mengalahkan Perseman Manokwari. Gelar pertama
sejak 1961 itu membuat atmosfir Bandung meledak dalam kegembiraan luar
biasa, sebuah kegembiraan yang mencerminkan dengan sempurna hubungan
antara sepak bola dengan sebuah kota, sebuah masyarakat, bahkan sebuah
kebudayaan.
Sepanjang jalan dari Jakarta sampai Bandung via jalur Puncak penuh
dengan konvoi para bobotoh. Keesokan harinya, Bandung seperti berwarna
biru. Koran-koran yang dijual di Bandung ludes selepas Subuh. Rekor
oplah penjualan Pikiran Rakyat juga karena peristiwa Persib menjadi
juara Perserikatan 1990 mengalahkan Persebaya di partai final. Bandung
sempurna merayakan pesta saat seluruh anggota tim diarak keliling kota
di atas mobil bak terbuka.
Hal sama selalu terulang tiap kali Persib menjadi juaradi tahun-tahun
berikutnya: 1994 (gelar juara terakhir era Perserikatan) dan 1995
(gelar juara pertama di era Liga Indonesia).
****
Pada 17 Juli 1993, tahun-tahun terakhir era Perserikatan, sejumlah
bobotoh yang biasa menempati tribun selatan Siliwangi sepakat mendirikan
Viking Persib Club, fans club Persib pertama di Indonesia. Adapun
pelopor dari pendiriannya antara lain Ayi Beutik, Heru Joko, Dodi Pesa
Rokhdian, Hendra Bule, Aris Primat dan beberapa nama lainnya. Nama
Viking diambil dari nama suku bangsa yang mendiami kawasan skandinavia
di Eropa Utara yang dikenal berani, gigih, solid, pantang menyerah dan
gemar menjelajah.
Pendirian Viking ini bukan hanya menandai fase baru bobotoh, tapi
juga menandai mode baru dalam dunia suporter di Indonesia. Seiring
munculnya Liga Indonesia, dunia sepak bola Indonesia menjadi lebih
menarik dan semarak. Klub-klub baru berkesempatan tampil di kasta
tertinggi sepak bola tanah air. Fenomena ini ditindaklanjuti oleh
suporter-suporter klub lain yang juga mendirikan fans club
masing-masing.
Atmosfir stadion lebih menarik dengan chant-chant, atribut, serta
alat-alat musik yang sengaja dibawa. Di era ini pula perseteruan
suporter menjadi jauh lebih berbahaya dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Angka kerusuhan suporter meningkat, kadang kala bahkan terjadi saat
tidak ada pertandingan. Jika di era perserikatan bobotoh berseteru
dengan supporter Persebaya, PSM dan terutama PSM, rivalitas di era fans
club berubah petanya. Sejak era 2000an, rivalitas antara bobotoh Persib
dan suporter Persija mulai menghiasi pemberitaan sepak bola di
Indonesia.
Di Bandung sendiri, menyusul pendirian Viking, bermunculan beberapa
kelompok suporter (firm) baru, misalnya Bomber (Bobotoh Maung Bandung
Bersatu). Beberapa tahun terakhir, bermunculan kelompok-kelompok kecil
yang mencerminkan sub-kultur khas perkotaan, di mana sepak bola
beririsan dengan kebudayaan popular lainnya, terutama musik. Di Eropa,
fenomena ini sering disebut sebagai “casual”. Di Bandung bermunculan
beberapa firm bergaya casual, seperti Flower City Casual [FCC], TS 1,
Second Squad sampai Viking Frontline.
Kendati demikian, bobotoh sebagai sebuah sub-kultur tidak pernah
hilang dan memang tidak akan pernah tergantikan. Salah seorang eksponen
FCC mengaku, kendati secara khas menggunakan atribut, chant dan gaya
yang berbeda, mereka tetap mengakui bobotoh sebagai identitas pokok
mereka.
Dalam bahasa Sunda, “bobotoh” secara sederhana diartikan sebagai
“pendukung”, ‘suporter”. Menurut Kamus Umum Basa Sunda terbitan Lembaga
Basa jeung Sastra Sunda, “bobotoh” berarti “purah ngagedean hate atawa
ngahudang sumanget ka nu rek atawa keur ngadu jajaten” (berperan
membesarkan hati atau membangun semangat bagi mereka yang akan atau
sedang berlomba).
Di tengah makin merajelalanya pengaruh sepak bola Eropa dalam dunia
suporter Indonesia, para suporter Persib tahu benar “bobotoh” bukan
sekadar nama, melainkan juga sebuah konsep.