Jumat, 17 Mei 2013

Brazilian Player Comeback

PERSIB. . menjelang transfer windows 1, para bobotoh atau pecinta Persib Bandung dihebohkan dengan wacana pertukaran pemain yang mengaitkan nama jenderal lapangan tengah tim ini yaitu Firman Utina dan memasukkan nama-nama bintang seperti Gustavo Lopez (Persela), Fabiano Da Rossa (Persija), Andik Vermansyah (Persebaya IPL) sampapi Hilton Moreira (Sriwijaya FC).

Menariknya, dari rumor tersebut hanya satu nama yang berhasil di kontrak oleh manajemen. Dia adalah 'mantan' striker Persib Bandung era kepelatihan Jaya Hartono, ya! dia adalah Hilton Moreira. Hilton sepakat bergabung kembali dengan catatan Persib harus memberikan Herman Dzumafo kepada tim Sriwijaya FC sebagai pemilik Hilton. Dengan kesepakatan itu maka terjadilah pertukaran pemain.

Hilton pernah bermain bersama Persib selama 3 tahun yaitu pada tahun 2008 hingga 2011. Di musim pertamanya berbaju Persib, ia berhasil mencetak 15 gol dan membuatnya menjadi Top Score Persib. Sedangkan di musim kedua, ia hanya berhasil mencetak 10 gol dan menjadikannya pencetak gol kedua terbanyak Persib setelah Christian Gonzales, yang menjadi tandemnya di lini depan Persib saat itu.

Mencetak hasil cemerlang di musim pertamanya bersama Persib, pemain ini malah harus absen cukup lama karena cedera lutut parah yang dia dapat pada akhir tahun 2010. musim 2010-2011 bergulir, Hilton comeback bersama Persib, namun permainannya tak kunjung membaik. Akibat kejadian itu, performa Hilton di anggap menurun oleh manajemen. Dan di musim 2011-2012, dia tidak diperpanjang. Hilton memutuskan melanjutkan karirnya di Sriwijaya dengan status free transfer. 

Di Sriwijaya, Hilton mulai bangkit. Di musim pertamanya, dia mampu membawa Sriwijaya menjadi kampiun Indonesia Super League dan mencetak 18 gol.

Penampilannya yang bagus bersama Sriwijaya, membuat banyak tim mengajaknya untuk bergabung. Namun manajemen Sriwijaya tidak ingin pemain yang membawa timnya menjadi kampiun ini pergi, mereka mematok harga yang sangat tinggi untuk pemain ini agar tidak pergi.

Setelah setengah musim terlewati, saat transfer windows resmi dibuka. Kabar mengejutkan itu datang, Manajemen Persib dan Sriwijaya sepakat melakukan pertukaran pemain yang melibatkan Dzumafo (Persib) dengan Hilton (Sriwijaya).

Jika dilihat dari raihan gol kedua pemain ini selama setengah musim, baik Dzumafo maupun Hilton sama-sama berada di angka kurang dari 10 gol. Tapi, kedua manajemen tim menilai, pertukaran kedua pemain ini cocok dengan gaya permainan masing-masing tim saat ini.

Dalam hal penempatan pemain, Hilton lebih memiliki banyak posisi bermain dibanding Dzumafo. Opsi pertama adalah formasi 4-4-2, Hilton bisa ditempatkan pada posisi target man atau second striker. Opsi kedua adalah memakai formasi 4-3-3, pemain ini bisa menempati dua posisi yaitu sebagai target man atau winger.

Dilihat dari penempatan posisi bermain seorang Hilton Moreira, semoga ini menjadi tanda tim JUARA yang akan JUARA lagi. Inilah harapan kita semua!

'penulis : @A6Luqman'


Selasa, 07 Mei 2013

Walk Out dalam sepakbola

Walk Out dalam arti bahasa Indonesia adalah mogok atau meninggalkan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, mogok mempunyai arti tidak dapat berjalan (bekerja) sebagaimana mestinya.

Dalam permainan sepakbola WO atau mogok main dapat dilakukan semua tim tak terkecuali tim besar, mereka dapat melakukan hal itu karena berbagai macam hal dan pertimbangan. Masih dalam hal permainan sepakbola, jika suatu team bertanding dan salah satu lawannya 'memilih' mogok atau meninggalkan pertandingan dalam sebuah kompetisi, maka tim itu tidak akan mendapatkan poin, tidak akan mendapatkan pundi-pundi goal. Bahkan yang akan mereka dapatkan hanyalah gawang mereka kebobolan 3 goal tanpa balas, tanpa tambahan poin, dan lebih sialnya lagi mereka bisa langsung di hukum angkat koper lebih dulu daripada team kontestan yang lain. Sistem ini sudah diberlakukan di persepakbolaan Eropa khususnya di Inggris, yang dikenal sebagai 'nenek moyangnya' sepakbola dunia.

Kontestan yang melakukan mogok main tidak dapat mengikuti kompetisi selanjutnya dan di denda oleh federasi sepakbola negaranya masing-masing, karena dapat merusak antusiasme dari sebuah kompetisi tersebut. Dari data tersebut jelas jika Walk Out sangat dilarang dalam sebuah permainan.

Jika kita berbicara WO dalam persepakbolaan Indonesia, seakan hal itu bukan lagi sebuah pelanggaran tetapi bisa dikatakan 'tradisi'. Tradisi adalah Adat atau Kebiasaan yang turun temurun dari nenek moyang, yang masih dijalankan masyarakatnya. Tradisi itu sulit dihentikan atau bahkan mustahil karena berbagai faktor keadaan team itu sendiri. Di persepakbolaan Indonesia, faktor yang mendorong kejadian ini adalah hal yang bisa dibilang sepele jika Standarnya adalah Dana.

Di Eropa yang mayoritas persepakbolaannya maju, Dana bukan lagi problem serius karena orang-orang yang bekerja di dalam team adalah orang-orang yang Profesional, Total, dan Loyal kepada klub.

Lebih memilukan lagi adalah kontestan yang ikut berkompetisi di AFC Cup yang berasal dari kompetisi dalam negeri yaitu Persibo. Karena masalah yang terjadi di Federasi sepakbolanya, klub pun harus ikut kena dampaknya. Mereka mengancam akan mogok main karena ketiadaan anggaran team untuk menjalani partai away ke team AFC Cup lainnya. Akhirnya team itu bisa berangkat dengan team yang 'seadanya' karena didanai oleh PSSI. Yang akhirnya pun meninggalkan cerita kelam bagi persepakbolaan negeri ini, dengan membawa score yang sangat memalukan di sebuah kompetisi besar sekelas Championship Asia.

Pertanyaannya, apakah Walk Out 'diperlukan' di pesepakbolaan Indonesia yang mayoritas masih berskala Semi-Profesional. Hanya mereka yang bisa menjawab. Wassalam :)

Penulis : @A6Luqman


Sabtu, 04 Mei 2013

Total Football


Apa itu Total Football? Bagi Anda para pecinta olah raga sepak bola, istilah ini tentunya bukan lagi sesuatu yang asing. Terlebih lagi jika Anda adalah seorang penggemar fanatik tim orange Belanda di lapangan hijau.
Total football di dalam bahasa Belanda disebut dengan totaalvoetbal. Total football sendiri merupakan salah satu strategi bermain di lapangan hijau yang diciptakan pertama kali oleh tim Belanda, yakni taktik permainan di lapangan yang memungkinkan seluruh pemain bertukar posisi atau permutasi posisi secara konstan dan terus menerus sambil berupaya menekan para pemain lawan yang sedang menguasai bola.

Dengan demikian, taktik tersebut mengharuskan sebuah tim diisi oleh para pemain yang memiliki skill dan kemampuan menyerang serta bertahan yang sama baiknya serta mempunyai stamina fisik yang prima untuk bisa tampil dengan kemampuan yang konstan selama 90 menit atau masa pertandingan berjalan.

Taktik bermain model total football tersebut untuk pertama kalinya dipopulerkan oleh klub di Belanda yakni Ajax Amsterdam sekitar tagun 1969 hingga 1973. Tim Nasional Belanda sendiri selanjutnya memilih gaya total football tersebut sebagai senjata mereka pada Piala Dunia tahun 1974. Gaya ini terus menjadi karakter khas tim Orange dan klub Ajax Amsterdam hingga masa kini.

Orang yang pertama kali memperkenalkan gaya total football itu sendiri adalah seorang pelatih klib Ajax Amsterdam yang bernama Rinus Michels. Kemudian seorang pelatih lainnya bernama Johan Cruijff melakukan modefikasi gaya tersebut saat melatih tim FC Barcelona.

Taktik bermain yang ditemukan oleh klub Ajax Amsterdam tersebut mencapai puncak kejayaan saat klub tersebut mampu mencetak rekor pertandingan yang selalu menang selama 46 kali masa pertandingan selama dua musim, yakni tahun 1971-1972 dan 1972-1973.

Tak hanya itu, berkat gaya baru yang ditemukan tersebut Ajax Amsterdam mampu meraih lima buah prestasi gemilang, diantaranya adalah (Juara Liga, Juara Piala KNVB,Juara Piala Champion, Juara Piala Super Eropa dan Juara Piala Interkontinental).

Karakter khas yang dimiliki Tim Nasional Belanda melalui gaya total football-nya tersebut menjadikan Belanda sebagai salah satu tim dunia yang banyak diunggulkan banyak orang. Termasuk mungkin kita sebagai masyarakat Indonesia. Meskipun Belanda telah dikenang menjajah Indonesia selama 350 tahun, namun tak sedikit saat ini orang Indonesia yang fanatik dengan tim orange tersebut.

Total football Belanda telah menjadikan negara ini menjadi jejak awal yang kemudian diikuti oleh negara-negara lainnya dalam menemukan strategi di lapangan hijau. Diantaranya adalah Italia dengan Catennacio-nya, klub Barcelona dengan Tika-Taka serta Inggris dengan gaya Kick n Rush-nya.

Bagaimana dengan Tim Nasional Indonesia? Bila ingin menjadi salah satu tim yang dipandang dunia, agaknya perlu ada gebrakan baru strategi di lapangan hijau untuk mengatasi kendala-kendala klasik para pemain nasional di lapangan.

Meskipun Liga Belanda yakni Eredivisie tidak mempunya tingkat popularitas liga sehebat Premier League-Inggris atau juga La Liga-Spanyol, namun kita tidak bisa memandang remeh soal kualitas para pemain Belanda. Mereka umumnya adalah para pemain yang memiliki kualitas induvidual cukup bagus di lapangan.
Pada musim Piala Eeuro tahun 2012 lalu, kiprah Belanda sebagai salah satu finalis Piala Dunia tahun 2010 yang lalu tersebut menuai hasil yang buruk. Yakni saat mereka bertemu dengan Jerman, Portugal dan Denmark yang menjadi grup neraka bagi Belanda.

Salah satu penyebab hal tersebut adalah akibat keberanian pelatih Bert van Marwijk yg merubah permainan Belanda dari gaya menyerang ke pragmatis.

Kurikulum dan Pedoman Dasar Sepakbola Indonesia 

untuk kali pertama, Indonesia memiliki kurikulum sepakbola. Berisi pedoman pendidikan sepakbola usia dini, muda hingga jenjang senior, buku ini disusun oleh pelatih berkebangsaan Jerman, Timo Scheunemann. Terdiri dari 10 bab, kurikulum ini berisi panduan pendidikan sepakbola yang terbilang lengkap. Di dalamnya dijabarkan mulai dari yang paling dasar seperti prinsip bermain, konsep melatih, kurikulum berdasarkan umur, hingga hal-hal yang lebih detil seperti teori sepakbola modern, teori latihan fisik sampai mencegah dan merawat cedera serta pemahaman dasar peraturan pertandingan.

Kemunculan kurikulum sepakbola ini sudah sangat dinanti-nantikan dunia sepakbola tanah air. Selama ini pengembangan serta pembibitan usia muda jadi hal yang selalu terlupakan, hal mana membuat prestasi sepakbola Indonesia makin tertinggal bahkan dari tetangga Asia Tenggara.

“Salah satu kelemahan yang paling mendasar dalam pembinaan ‘grass root’ (U5-U12) dan usia muda (U13-U20) di Indonesia adalah fokus SSB yang salah; fokus SSB lebih ke arah menggapai kemenangan daripada membina pemain hingga bisa mencapai potensi maksimalnya. SSB sibuk menggapai prestasi sebagai klub hingga lupa bahwa prestasi sebenarnya adalah pembentukan pemain secara menyeluruh,” tulis Timo dalam kata sambutan kurikulum.

“Kurikulum ini adalah bagian dari langkah-langkah konkret yang dilakukan oleh Badan Usia Muda PSSI. Dengan adanya kurikulum ini harapan kami program latihan di semua SSB di seluruh Indonesia menjadi; (1) lebih berkualitas , (2) lebih “age specific” atau tepat usia, (3) lebih terarah secara baku atau dengan kata lain memiliki standar yang sama,” lanjut pria yang juga menjabat sebagai Direktur Pembinaan Usia Muda PSSI itu.

Meski menitikberatkan pada pembinaan usia dini (U5-U12) dan muda (U13-U20), kurikulum ini juga bisa digunakan untuk pemain senior. Kurikulum ini akan disebarkan ke seluruh sekolah sepakbola di Indonesia, dan diharapkan bisa menjadi panduan baku buat pembinaan usia muda mulai dari rumah dan sekolah.

Untuk mendapatkan kurikulum ini, siapa saja bisa men-download dengan cuma-cuma melalui situs binasepakbola.com.

Strategi Tiki-Taka Barcelona dan Timnas Spanyol 

Apa bedanya sepakbola milik Spanyol dengan sepakbola milik Indonesia? Sementara Spanyol sudah menampilkan permainan cantik bertajuk “Tiki-Taka”, Indonesia masih terjebak dalam teka-teki. Tiki-taka (atau tiqui-taca dalam pelafalan bahasa Spanyol) belakangan mendunia sejak Barcelona dan tim nasional Spanyol memeragakannya di lapangan sepakbola. Gaya permainan tersebut terkenal dengan operan-operan pendek dan pergerakan pemainnya dalam mencari ruang-ruang kosong di lapangan. Dengan satu atau dua sentuhan, bola pun sudah ada di depan area lawan. Sungguh membuat takjub.

Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Tiki-Taka adalah pengembangan sepakbola modern terhadap Total Football. Setidaknya, setiap tim yang memeragakan gaya sepakbola tersebut mewajibkan para pemainnya bergerak secara fluid (cair atau mengalir) dan menerapkan pressing tinggi. Sid Lowe, seorang kolumnis Inggris yang berbasis di Spanyol, menyebut bahwa gaya permainan tersebut, plus agresivitas khas Spanyol, telah membuat La Furia Roja memenangi Piala Dunia 2010.

Demikianlah sepakbola modern. Apa yang dibahas sudah sampai pada titik evolusi permainan hingga evolusi posisi pemain. Dunia sepakbola kini mengenal istilah ‘false 10′ dan ‘false 9′, untuk seorang pengatur permainan dan penyerang yang tidak terpatok pada tugas aslinya–false 9 sering diartikan sebagai penyerang tengah yang kerap turun jauh ke lini kedua–, hingga ‘inverted winger’ untuk seorang pemain sayap yang ditempatkan pada sisi lapangan yang berseberangan dengan kemampuan kakinya–contoh: pemain sayap yang dominan menggunakan kaki kanan ditempatkan sebagai sayap kiri.

Di luar lapangan, banyak konsep menarik yang sudah diterapkan federasi negara masing-masing demi memperbaiki permainan tim nasionalnya. Juergen Klinsmann, ketika masih menangani tim nasional Jerman, pernah meminta kepada DFB untuk mengenalkan skema permainan yang diinginkannya kepada klub-klub Bundesliga. Hal serupa juga dilakukan RFEF (Federasi Sepakbola Spanyol) yang meminta kepada tim nasional untuk remaja, di bawah usia 17, 19 dan 21 tahun memainkan pola yang sama dengan tim senior yang sudah memenangi Piala Eropa 2008 dan Piala Dunia 2010.

Oleh karenanya, jangan heran jika talenta-talenta Jerman dan Spanyol seperti tidak ada habis-habisnya. Setelah Thomas Mueller, kini muncul Mario Goetze. Setelah Andres Iniesta, kini muncul Iker Muniain, dan demikianlah seterusnya. Apa yang mereka pikirkan sudah terfokus pada hasil yang harus diperoleh di lapangan, tanpa persoalan remeh-temeh lainnya. Kompetisi dijadikan ajang untuk mengasah kemampuan supaya kualitas tim nasional juga tetap terjaga.

Jumat, 03 Mei 2013

11 Pemain Asing Terbaik Persib

Era Liga Indonesia sejak musim pertamanya di tahun 1994/1995 membuka lebar – lebar keran bagi pemain asing untuk bermain di Indonesia. Tujuannya untuk mentransformasi ilmu dan kemampuan para pemain asing (yang dirasa) lebih baik dari pemain lokal. Efek dari program ini adalah agar terjadi percepatan terhadap upgrade skill para pemain Indonesia nantinya. Hampir semua tim melakukan opsi mengontrak para pemain asing. Beberapa sukses, walaupun banyak juga yang harus gigit jari karena kemampuan pemain asing ternyata tidak lebih baik dari pemain lokal.

Generasi pemain asing pertama yang singgah di era Liga Indonesia adalah generasinya Jacksen F Tiago, Carlos de Mello, Darryl Sinerine, Luciano Leandro, Dejan Gluscevic, Olinga Atangana, Antonic Dejan, Maboang Kessack Dan Lain-lain. Kedatangan mereka menjadi tonggak awal era industri baru sepakbola di Liga Indonesia.

Persib di awal-awal era Liga Indonesia merupakan anomali dari tim-tim peserta kompetisi itu. Persib sama sekali enggan menggunakan pemain asing. Saat itu, baik pemain, pengurus, maupun pelatih seperti sepakat dan kompak menyerukan bahwa dengan para pemain lokal pun Persib bisa berprestasi. Bahkan sempat pada suatu waktu di media nasional Nandang Kurnaedi berbicara dengan lantang: “untuk apa kami membeli Luciano Leandro jika kami punya seorang Yusuf Bachtiar?” suatu kelakar yang memang sesuai dengan kenyataan di saat itu. Persib menjadi kampiun Liga Indonesia I tanpa bantuan pemain asing.


Era sepakbola industri seperti memaksa Persib untuk semakin menyesuaikan diri dengan pemain asing. Persib tidak sekeras dulu. Persib melunak dan berkompromi dengan zaman. Sejarah baru dimulai, pada Liga Indonesia IX di tahun 2003 untuk pertama kalinya skuad Persib kedatangan pemain asing. Trio Polandia Mariusz Mucharsky, Pavel Bocjian, danMaciej Dolega mengawali lahirnya era dimana Persib menggunakan tenaga asing untuk memperkuat skuad. Ketiga pemain itu dilatih oleh pelatih yang juga berasal dari Polandia Marek Andrejz Sledzianowski. Alasan pengurus saat itu sederhana, Persib ingin mengulang romantisme kesuksesan saat pernah dilatih oleh maestro asal Polandia Marek Janota. Orang yang membuat pondasi pada generasi emas Persib di era 1986 – 1995.

Pemain asing sejak tahun 2003 akhirnya datang dan pergi di skuad Persib. Ada yang menorehkan sejarah manis, ada yang hanya datang tanpa memberikan pengaruh apa-apa di tim. Sejak tahun 2003 hingga tahun 2013 ini, tercatat 51 pemain asing pernah memperkuat Persib. Rinciannya 18 orang berasal dari Amerika Latin, 12 dari Afrika, 7 Eropa dan 14 pemain dari Asia.

Kami mencoba menyusun sebelas nama pemain asing terbaik yang pernah membela Persib. Berikut sebelas pemain asing terbaik Persib versi mengbal:
  1. Sintawecchai ‘Kosin’ Hattairatanakool
    Didatangkan dari Osotappa FC Thailand pada tahun 2006. Statusnya saat itu adalah penjaga gawang timnas U-23 Thailand. Kemampuan membaca bola Kosin diatas rata-rata kiper seusianya. Mampu memberikan rasa aman kepada pemain bertahan ketika bermain. Sempat pulang ke Thailand selama dua musim, kerinduan bobotoh akhirnya terobati. Kosin kembali ke Bandung pada musim 2009/2010 dengan status pinjaman. Lagi-lagi bermain sangat baik, sayangnya dia harus kembali pulang ke Thailand karena status pinjamannya telah habis. Jika ditanya siapa penjaga gawang asing terbaik yang pernah membela Persib, Sintawecchai Hattairatanakool adalah jawabannya.

  2. Patricio Jimenez
    Pato Jimenez, seorang bek stylish asal Chile. Bek yang lebih mengandalkan visi dalam bermain ketimbang otot. Seorang bek dengan kemampuan membaca permainan yang mumpuni. Sangat tenang ketika mengomandoi lini belakang. Saking tenangnya dia pernah dimaki habis-habisan oleh Tema Mursadat pada satu pertandingan. Saat itu Jimenez memberikan bola back pass kepada Tema padahal jarak dengan penyerang lawan amat sangat dekat. Pertukaran posisi dengan Suwitha Patha di area DM dan CB ketika pertandingan adalah salah satu permutasi terbaik yang pernah dimainkan Persib. Jangan lupakan juga penalti menutup mata Jimenez ketika melawan Persijap.

  3. Claudio Lizama
    Badboy from Bandung. Begitulah tulisan tentang Lizama di cover sebuah album kompilasi Viking Persib club. Dengan postur yang tidak terlalu tinggi, Lizama mampu menjadi komando lini belakang Persib. Bersama Alejandro Tobar dan Rodrigo Sanhueza, Lizama bergabung di putaran kedua Liga IX tahun 2003. Anting di telinga kiri, bermain dengan rock ‘n roll diantara il capitano Dadang Hidayat dan Suwandi H.S di lini belakang, orang yang selalu berada di garis depan ketika terjadi keributan, dan salah satu anggota penyelamat play off degradasi di Solo. Once badboy still badboy, senor..

  4. Julio Lopez
    Didatangkan secara kontroversial dari PSIS Semarang ketika dia sedang menjadi pahlawan di Semarang, Lopez bisa menjadi tandem yang sangat baik untuk Alejandro Tobar di skuad Persib LI X tahun 2004. Lopez bertindak sebagai pemain yang sangat diharapkan ketika bola sedang berada di kakinya. Bobotoh seakan selalu berharap ada hal gaib yang bisa dilakukan Lopez ketika dia sedang menggoreng bola. Hanya pemain bagus yang bisa membuat penonton beranjak dari duduknya ketika bola berada di kakinya. Dan Lopez di musim itu bisa melakukan hal ini. Sayang dia hanya bertahan di Bandung setengah musim dengan produksi tujuh gol selama membela Persib. Lopez lalu menghilang dengan kabar yang tidak pernah orang tahu kebenarannya sampai saat ini. Datang dengan kontroversial, pergi dengan kontroversial juga.

  5. Redouane Barkoui
    Datang ke Bandung di tahun 2006, melakukan debut di Siliwangi melawan Arema, mencetak gol, lalu berlari ke pagar pembatas tribun timur sambil bertelanjang dada. Itulah awal perkenalan Barkoui, pria asal Maroko kepada publik sepakbola Bandung. Di musim pertamanya Barkoui hanya mencetak lima gol. Di musim keduanya Barkoui bangkit dengan mencetak 10 gol di Liga. Bersama Zaenal Arif dan Bekamenga, Persib di musim ini adalah salah satu skuad dengan komposisi penyerang yang paling produktif. Bertahan selama dua musim di Bandung, si goyang jaipong inipun akhirnya meninggalkan Bandung.

  6. Alejandro Tobar
    Classic number 10, trequartista, pembagi bola terbaik di kota ini tahun 2003-2004. Bermain di Persib selama satu setengah musim, Tobar merupakan salah satu orang yang paling krusial ketika menyelamatkan Persib dari ancaman degradasi di tahun 2003. Setelah Adjat Sudrajat, Tobar lah representasi orang yang layak menggunakan nomor 10. 15 gol berhasil dibuat selama dia berada di Bandung. Setelah Tobar hengkang, belum ada lagi pemain yang benar-benar sukses menggunakan nomor punggung 10. Playmaker, trequartista, the number 10 enhanche. Without him, football would be nowhere as spectacular. Fantasistas, Tobar, we salute you!

  7. Hilton Moreira
    Masuk sebagai gerbongnya Jaya Hartono dari Deltras bersama Waluyo, Hariono dan Airlangga Sucipto di tahun 2008. Dia pemain asing yang paling fleksibel posisinya karena bisa bermain baik di berbagai posisi. Posisi yang dikenal dengan nama versatile. Hilton bisa bermain sebagai striker, sayap kanan, sayap kiri, dan gelandang. Total bermain 67 kali dan menciptakan 28 gol selama 3 musim bersama Persib. Rasio 0,42 per match untuk ukuran pemain yang tidak selalu bermain sebagai striker utama adalah baik. Karena Christian Gonzales sudah dihitung sebagai warga negara Indonesia, maka secara statistik Hilton ada di perigkat utama top skor pemain asing Persib dengan 28 gol.

  8. Lorenzo Cabanaz
    Seorang flamboyan asal Paraguay. Butuh dua musim bagi Persib mencari pemain yang mampu bermain dibelakang dua penyerang dan menjadi playmaker setelah Alejandro Tobar pergi. Ullian Souza didatangkan, Ayouck Berti dicoba, tetapi semuanya tidak mampu menjawab ekspektasi tim akan pemain yang mampu menjadi pengatur serangan. Lalu datanglah Lorenzo Cabanaz, playmaker berkelas yang akhirnya mampu menjadi jendral baru di lini tengah Persib. Cabanaz adalah Alejandro Tobar versi lebih cepat dan dinamis. Permainannya flamboyan dan memanjakan. Satu-satunya kekurangan dari Cabanaz adalah fisiknya yang sering habis di 15 menit babak kedua. Bermain dua musim, Cabanaz mencetak 11 gol dan mengantarkan Persib di posisi 5 dan 3 alias selalu papan atas. Flamboyan!

  9. Miljan Radovic
    Datang di usia senja 35 tahun ke Bandung, sempat diragukan karena usianya, tetapi Miljan mampu menjawab semua keraguan itu. Master free kick terbaik yang pernah ada di Bandung. Total bermain 47 kali selama membela Persib dengan torehan 16 gol. Selalu bermain sebagai starting eleven dan tidak pernah sekalipun dicadangkan. Topskor Persib musim 2011/2012. Pemain yang sangat loyal terhadap bobotoh. Miljan memberikan yang terbaik yang dia punya selama di Persib. Bandung moal poho ka mang Miljan!

  10. Christian Bekamenga
    Datang dengan status striker inti Kamerun U-23 dari Liga Super Malaysia. Bekamenga merupakan pemain dengan status high profile. Orang-orang di Asia mengenalnya dengan nama Bekamengo. Dia digadang-gadang sebagai talenta muda potensial Kamerun. Partai pertamanya di Bandung adalah ketika Persib beruji coba dengan Selangor di stadion Siliwangi. Dia membuat Siliwangi tumpah dengan gol tunggalnya di menit-menit akhir. Skill dan kapasitasnya akhirnya memang menunjukan bahwa dia adalah penyerang dengan tekhnik kelas atas. Hal yang akan selalu diingat adalah bagaimana dia memimpin Persib di Siliwangi untuk menghancurkan Persija Jakarta 3-0 dengan mencetak dua gol. Kemenangan yang membuat Persib sempat mencicipi juara paruh musim wilayah barat. Sayangnya panggilan bermain untuk timnas membuat dia terhitung jarang bermain untuk Persib. Meskipun begitu dia mampu memproduksi 10 gol selama di Bandung. Bekamenga lalu pergi dengan alasan yang tidak jelas dan hanya bermain setengah musim di Persib. Kasusnya hampir sama dengan Julio Lopez. Bermain baik, merebut hati bobotoh, lalu pergi tanpa jejak. Dia adalah penyerang asing terbaik yang pernah hadir di Bandung.

  11. Suchao Nutnum
    Suchao Nutnum, dialah pemain asing yang paling berkesan yang pernah bergabung di klub ini. Hanya tiga bulan bermain dengan status pemain pinjaman, Suchao berhasil merebut hati bobotoh yang terdalam. Datang mencetak gol lalu pulang dengan gol indah yang tak akan terlupakan ke gawang Herman Batak langsung dari tiang tendangan penjuru. Suchao bermain 13 kali, mengoleksi tiga gol dengan total menit bermain 1025 menit. Seluruh jersey Suchao di kios – kios Sidolig habis ketika itu. Dia adalah harapan dan idola baru publik sepakbola Bandung. Suchao adalah salah satu alasan tren bobotoh wanita kembali berdatangan ke stadion. Sayang masa peminjaman Suchao harus berakhir. Suchao kembali ke Thailand. Perpisahan manis dilakukan di Stadion Si jalak Harupat. Banner- banner besar bertuliskan “thank you Suchao” terpampang di seluruh sudut stadion. Beberapa bobotoh wanita memberikan salam perpisahan dengan bunga, farewell party paling mengesankan sepanjang sejarah kedatangan pemain asing di Bandung. Suchao menitikan air mata, berterima kasih dan berkata bahwa dia sangat mencintai klub ini. Suchao pun akhirnya benar- benar pergi dan tidak pernah kembali lagi. Suchao, pemain asing terbaik yang pernah datang ke Bandung. The beautiful one night stand players we ever had.
 from : www.mengbal.com

Stephenie Meyer 

 

Stephenie Morgan Meyer (lahir di Hartford, Connecticut, Amerika Serikat, 24 Desember 1973; umur 39 tahun) adalah seorang penulis novel Amerika Serikat. Ia dikenal dengan karyanya Twilight series yaitu Twilight, New Moon, Eclipse, dan Breaking dawn. Twilight, New Moon, dan Eclipse telah diproduksi dalam bentuk layar lebar. Sedangkan Breaking Dawn akan dibuat dalam dua film, di mana bagian pertama film ini dirilis pada bulan November 2011 dan bagian dua akan dirilis pada bulan November 2012. Karyanya yang lain antara lain adalah Midnight Sun, Twilight dari sudut pandang Edward Cullen.

Karir

Stephenie Meyer telah membuat beberapa novel dari seri twilight maupun bukan seri twilight. Awal mula ia menulis cerita tentang twilight berdasarkan atas mimpinya tentang seorang gadis yang jatuh cinta terhadap seorang vampire.
Karya-karya:

Kamis, 02 Mei 2013

Generasi Juara Rasa Polandia

Performa Persib yang sangat buruk dalam lanjutan Indonesia Super League bukan hanya mencuatkan kritikan ke arah manajemen, tapi terutama pada mekanisme dan sistem rekrutmen pemain. Makin kencang seruan agar Persib tidak ikut-ikutan pola instan dalam rekrutmen pemain dan beralih pada pembinaan pemain muda dengan mengandalkan mekanisme pembinaan internal.

Tekanan dari 36 klub-klub di wilayah kota Bandung terkait posisi mereka dalam struktur manejemen PT Persib Bandung Bermartabat mesti dibaca tidak semata sebagai upaya mendapatkan jatah saham, tetapi bisa juga dimengerti sebagai cermin yang bisa mencerminkan bagaimana Persib tak cukup percaya pada mekanisme pembinaan sendiri. Dulu, hampir semua pemain Persib, lahir dari klub-klub yang bertanding dalam kompetisi internal Persib.

Persib dulu dikenal sebagai penyumbang pemain bagi tim nasional. Dari era Aang Witarsa dan Freddy Timisela, berlanjut ke era Ishak Udin, Henkie dan Pietje Timisela, Max Timisela dan Encas Tonif, sampai era Robby Darwis. Setelah itu, Persib agak minim berkontribusi ke tim nasional. Hanya beberapa nama yang agak lama memperkuat tim nasional, seperti Yaris Riyadi dan Eka Ramdani.

Sejarah juga mencatat bahwa Persib adalah satu-satunya tim di era Liga Indonesia yang mampu menjadi juara tanpa pemain asing pada Ligina I/1995. Pelatih terakhir yang memimpin skuad juara Persib, Indra Tohir, juga lahir dari mekanisme pembinaan internal Persib.

Ada satu nama yang tak boleh dilupakan dalam sejarah pembinaan pemain di Persib dan justru nama itu adalah nama asing: Marek Jonata, orang Polandia yang dipilih oleh manajemen Persib untuk membangkitkan nama besar Persib di akhir 1970an yang melempem dengan prestasi resmi di kompetisi PSSI.
Janota dipilih oleh Solihin GP, Ketua Umum Persib, pada 1980. Janota sebelumya sukses melatih Persija Jakarta. Oleh Mang Ihin, panggilan Solihin GP, Janota diminta untuk membentuk tim muda yang diproyeksikan menjadi tulang punggung tim.

Meski sempat diragukan bisa mengangkat prestasi Persib oleh sejumlah mantan pemain Persib, Janota mulai pencarian, mengumpulkannya, dan kemudian menempa pemain-pemain muda secara berkesinambungan. Janota sampai turun ke kampung-kampung untuk mencari bakat-bakat muda. Janota menempa pemain-pemain muda seperti Robby Darwis, Adjat Sudradjat, Bambang Sukowiyono, Suryamin, atau Iwan Sunarya dengan spartan melalui tempaan fisik yang tak kenal kompromi.

Simaklah pengakuan Adjat Sudrajat seperti ditulis dalam buku “Persib Aing” [Endan Suharya & Dani Wihara, 2007, hal. 85]: “Latihan ala Marek benar-benar berat. Karenanya pemain ngorondang ka beus, teu kuat leumpang deui balik latihan, eta mah tos biasa [merangkak ke bus setelah latihan, tidak kuat lagi berjalan, itu hal biasa],” ungkap Adjat.

Tidak semua pemain cocok dengan Janota. Kapten Persib dari era 1980an sampai 1991, Adeng Hudaya, menolak bergabung dengan Marek dan memilih ikut pelatnas. Ia merasa metode kepelatihan Marek tidak istimewa, karena ia merasa lebih butuh wawasan permainan ketimbang sekadar latihan fisik dan disiplin yang spartan.

Toh Adeng tetap kembali ke Persib dan menjadi bagian kecemerlangan generasi Persib di dekade 1980 dan 1990-an, generasi yang sanggup menjuarai Perserikatan 3 kali (1986, 1990, 1994), runner-up 2 kali (1983, 1985), juara Ligina I (1995). Semua kecemerlangan itu seringkali tak melewatkan rasa terimakasih pada nama Marek Janota, kendati dia sendiri tidak memberikan satu gelar pun bagi Persib.

Indra Tohir, yang mempersembahkan dua gelar juara terakhir Persib (juara Perserikatan terakhir dan juara Ligina yang pertama), mengakui kontribusi penting Marek Janota. Kendati Indra enggan mendampingi Marek, toh Indra mengakui jasa-jasa penting Marek. “Kita harus mengakui jasa Marek sebagai peletak dasar dan blue-print pembinaan Persib yang membuat Persib bisa kembali bangkit dan menjadi jawara di tingkat nasional pada era 1980-an,” kata Indra.

Sentuhan Marek di awal 1980-an masih terasa sampai pertengahan 1990an, masa-masa akhir keemasan Persib. Kapten Persib terakhir yang mempersembahkan gelar juara terakhir pada 1995, Robby Darwis, adalah temuan dan bentukan Marek. “Peran libero yang saya mainkan sejak membela Persib hingga timnas adalah bentukan Marek,” kenang Robby

Bobotoh dan “Etik Persib”

[artikel ini merupakan lanjutan dari artikel Bobotoh: Sebuah Nama, Sebuah Konsep]

Sebagai sebuah konsep identitas, “bobotoh” bukanlah konsep yang mati, melainkan terus berevolusi, “unfinished things”, hal ihwal yang belum selesai – apalagi jika kita berbicara tentang bentuk ekspresi dukungan. Siapa yang bisa menolak hal itu?

Jika kita baca artikel-artikel tentang Persib dan bobotoh di zaman dulu, seperti yang ditulis Bapak Usep Romli dan Ibu Ami Raksanagara yang sudah dikutip di artikel sebelumnya, terlihat jelas bagaimana ekspresi ke-bobotoh-an itu terus berubah dan menyesuaikan dengan perkembangan zaman.

Jika dulu tidak ada kekhususan atribut, sekarang atribut bobotoh makin beragam. Jika dulu ekspresi di stadion cukup dengan melambaikan kertas koran dan saputangan, sekarang sudah diperkaya dengan bendera dan banner raksasa sampai api-suar yang beragam warna.

Jika dulu yel-yel suporter hanya “Hidup Persib… Hidup Persib” dan “Halo Halo Bandung”, sekarang di tribun makin kaya dengan –bukan lagi yel tapi…– chant yang berbeda-beda dan terus dan akan kian bertambah. Jika dulu bobotoh “bermusuhan” dengan suporter PSMS dan Persebaya, sekarang  bobotoh punya rival baru dari Jakarta dan [mungkin] Malang. Jika dulu bobotoh bersifat organik, sekarang bobotoh sudah terhimpun dengan berbagai firm, dari firm besar sampai firm-firm kecil.

Bagaimana bisa terjadi perubahan gaya berekspresi itu? Karena manusia – sebagaimana Persib dan bobotoh– hidup di dalam waktu yang terus berjalan. Dari mana asalnya inspirasi perubahan-perubahan baru itu? Dari orang lain yang diantarkan kepada kita melalui berbagai medium: media massa, film, televisi, internet.

Dari sisi ini, Persib dan bobotoh tak ubahnya seperti sejarah Bandung: tumbuh dan berkembang karena berinteraksi bukan hanya dengan Badak dan Maung, tapi juga dengan Jawa, Batak, Minangkabau, Makasar sampai Eropa. Sejarah Bandung modern adalah kisah tentang interaksi pituin dengan “the-others” yang berlangsung secara terus menerus dan nyaris tiada putus.

Interaksi itu seringkali berjalan tidak linier. Dalam banyak waktu dan kesempatan, interaksi itu juga kadang tidak berlangsung mulus. Gesekan sudah pasti tak terhindarkan. Namanya juga interaksi, mustahil tak melahirkan gesekan, tumbukan, dan/atau persinggungan. Yang terpokok adalah bagaimana interaksi itu bisa diperlakukan sebagai energi kreatif yang membuat kita semakin kaya warna.

Dilema atas fenomena interaksi itu diutarakan dengan bernas oleh Wiranatakusuma V, “Dalem Bandung” yang terakhir, Menteri Dalam Negeri Pertama Republik Indonesia, Presiden/Wali Negara Pasundan, yang oleh banyak kalangan dihormati sebagai “Raja Sunda terakhir” dan kadang dianggap sebagai perwujudan modern dari Prabu Siliwangi. Dia pernah berkata: ”Saya rasakan bagaimana sejak kecil hati saya tertarik ke dalam dunia bumiputra, dan saya rasakan pula betapa beberapa hal yang mendesak saya ke dunia Eropa.”

Dalem Bandung Wiranatakusuma V adalah pituin Priangan yang tak perlu diragukan lagi identitas ke-Sunda-annya. Akan tetapi, ke-Sunda-an yang membentuk pribadinya adalah ke-Sunda-an yang terbuka pada wawasan baru, visi baru dan masa depan yang baru. Dia adalah seorang kosmopolit, sebagaimana semua founding-fathers republik ini. Dia bukan hanya diasuh oleh R.Martanagara (Bupati Bandung), R. Ardinagara (Jaksa Bandung), dan R. Suriadiningrat (Camat Cilokotot/Cimahi), tapi juga dibimbing langsung oleh Snouck Hurgronje dan GA Hazeu.

Bagaimana interaksi dan dilema batin itu diselesaikan oleh Wiranatakusuma V? Sederhana: dia menyerahkan dirinya demi masyarakat. Apa pun dan bagaimana pun cara dan jalannya, dan dari mana pun datangnya, selama baik bagi masyarakat Bandung dan Priangan yang dipimpinnya, dia pasti akan melakukannya.
Itulah sebabnya dia menerima saja permintaan untuk jadi Wali Negara Pasundan pada masa revolusi. Sebab, jika bukan dia, bukan tidak mungkin yang menjadi Wali Negara Pasundan adalah orang NICA atau menak yang mementingkan diri sendiri seperti Kartalegawa. Jangan heran ketika Republik Indonesia Serikat [negara federal] itu bubar, Wiranatakusuma V adalah orang pertama yang memutuskan untuk membubarkan Negara Pasundan dan bergabung dengan Republik Indonesia. Sedihnya, setelah itu, beliau harus menerima tuduhan sebagai “separatis”.

Kita punya Wiranatakusuma V dalam sejarah Priangan modern. Dilema interaksi dengan dunia luar yang dialaminya berhasil didamaikan dengan menjadikan rakyatnya sebagai poros dan tujuan utama dari apa pun dilema yang dihadapinya. Jika begitu, bisakah kita sebagai bobotoh, menjadikan Persib sebagai poros dan tujuan utama dari dilema dan persoalan apa pun yang kita hadapi?

Sebagai bobotoh, kita diikat oleh sebuah etika yang kami ingin menyebutnya sebagai “etik Persib”. Dengan “etik Persib” ini, maka yang menjadi penekanan adalah Persib itu sendiri, bukan bobotoh. Apa pun yang kita lakukan, apa pun persoalan yang kita hadapi, sebaiknya kita berpikir dalam kerangka “etik Persib” ini.
Secara ringkas, “etik Persib” ini bisa dirumuskan dengan pernyataan sederhana: “Apa pun yang bisa membawa kebaikan bagi Persib, ayo kita lakukan. Dan apa pun yang membawa keburukan bagi Persib, ayo kita tinggalkan.”

“Etika”, tentu saja, bukanlah “hukum”. “Etika” adalah kesepakatan bersama, seringkali “etika” tidak tertuliskan secara eksplisit; berbeda dengan “hukum” yang serba eksplisit, dan terang benderang bagaimana aturan dan sanksinya.

Semoga saja “etik  Persib” ini bisa diresapkan dengan sebaik-baiknya oleh bobotoh. Sebab, sebagaimana definisi asli “bobotoh” sebagai “purah ngagedean hate atawa ngahudang sumanget ka nu rek atawa keur ngadu jajaten”, eksistensi yang harus bersama-sama kita besarkan dan kita jaga adalah Persib, bukan bobotoh itu sendiri.  Eksistenti bobotoh dan beragam firm-nya boleh saja berganti-ganti, tapi semogalah eksistensi Persib tetap berkibar selamanya.

Pada awal dan pada akhirnya, bobotoh itu untuk Persib. Bukan bobotoh yang sedang “ngadu jajaten”. Yang sedang “ngadu jajaten” adalah Persib.

Karena bendera kita masih sama: PERSIB BANDUNG. Karena firm kita juga masih sama: BOBOTOH. Maka: bersatulah bobotoh sa alam dunya!

Semoga setiap bobotoh diberkahi sikap adil sejak dari pikiran.

from: www.mengbal.com

Bobotoh: Sebuah Nama, Sebuah Konsep

Di bangku cadangan, Robbie Gaspar mencoba memejamkan mata. Di sekelilingnya, pada bangku-bangku stadion Siliwangi, tidak ada ribuan bobotoh. Laga Persib vs Persipura [29/4] memang digelar tanpa penonton. Gaspar sengaja memejamkan mata untuk menghayati suara bobotoh bernyanyi, menyalakan mercon dan kembang api sepanjang pertandingan di sekeliling Stadion Siliwangi.

“One of the most surreal experiences i have experienced: No fans in the stadium but we can hear you,” kata Gaspar, gelandang berpaspor Australia yang musim ini memperkuat Persib.

Kendati laga Persib vs Persipura digelar tanpa penonton, toh bobotoh tetap berdatangan. Satu jam sebelum pertandingan, seribuan bobotoh konvoi jalan kaki keliling Siliwangi sembari. Saya berjumpa dengan 12 orang bobotoh yang berangkat dari Jogjakarta pada malam sebelum pertandingan.

Bobotoh dan Persib memang tak mungkin dipisahkan. Jauh sebelum fans club bertebaran dan menjadi tren di seluruh Indonesia, bobotoh sudah lebih dulu eksis. Majalah “Olah Raga”, media massa khusus olahraga yang diterbitkan oleh Otto Iskandar Dinata pada 1937, sudah memberitakan keberadaan bobotoh yang hadir mendukung Persib Bandung yang bermain di daerah Tegalega dan Ciroyom.

Ami Raksanagara, dalam esai menarik “Kuring, Apa Jeung Persib” [Saya, Ayah dan Persib] di Majalah Mangle edisi 2366, mengisahkan pengalaman masa kecilnya menonton Persib bersama sang ayah dan adiknya pada tahun 1950-an. Ami Raksanagara, penyair Sunda ini, menceritakan antusiasme bobotoh pada Persib tak berkurang dari waktu ke waktu, hanya cara mengekspresikannya saja yang dari waktu ke waktu terus berubah.

Lain lagi kenangan Usep Romli, sastrawan Sunda kelahiran Garut, yang juga rutin menonton Persib pada dekade 1960-an. Usep menulis: “Jika Persib me¬nang, cukup bersorak-sorai di dalam stadion. Dilanjutkan pada waktu pulang dengan cara mengibar-ngibarkan sapu tangan atau koran. Jika Persib kalah, cukup dengan membungkam. Stadion sepi bagai ‘gaang katincak’ [serangga terinjak].”

Dalam tulisan mengenang masa remajanya menonton Persib, Usep harus berangkat dari Garut sejak pukul 11 siang. Numpang truk pasir atau sayuran. Turun daerah Cicadas lalu jalan kaki ke arah Sidolig [stadion lama Persib]. Pulangnya ke Limbangan Garut keesokan harinya, naik kereta api dari Kiaracondong. Turun di Cibatu. Jalan kaki ke Limbangan, atau (kalau kebetulan ada) ikut truk pasir hingga daerah Sasakbeusi.

Pada era 1980an, masa keemasan Persib, Siliwangi selalu penuh dengan penonton. Persib saat itu dipenuhi bintang-bintang lokal dari Sukowiyono, Adeng Hudaya sampai bintang-bintang muda seperti Adjat Sudrajat. Pada salah laga di musim 1985, penonton yang membludak sampai tepi lapangan menghambat jalannya pertandingan. Bobotoh baru bisa tenang saat Gubernur Jawa Barat, Solihin GP, datang ke Siliwangi dengan menggunakan helikopter yang mendarat di Siliwangi.

Jika Persib bertanding di Jakarta, khususnya pada putaran final Divisi Utama, bobotoh selalu membirukan Senayan. Rombongan bobotoh terbanyak berangkat bersama-sama dari Sidolig. Atmosfir Bandung pun penuh dengan pembicaraan tentang Persib. Jelang laga final Perserikatan 1985 nan legendaris yang mempertemukan Persib vs PSMS, mesjid-mesjid di Bandung menyerukan kepada warga sekitar untuk mendoakan Persib.

Laga final Divisi Utama Perserikatan 1985 antara Persib dan PSMS Medan memang akan dikenang sebagai salah satu laga hebat dalam sejarah sepak bola Indonesia. Senayan disesaki lebih dari 120 ribu penonton, mayoritas bobotoh. Laga itu dicatat sebagai rekor dunia partai sepakbola amatir paling banyak ditonton menurut buku resmi AFC terbitan tahun 1987. Laga harus terhenti beberapa kali karena penonton merengsek sampai ke dalam lapangan.

Persib kalah secara tragis melalui adu penalti, tapi tidak ada kerusakan dan kerusuhan yang berdarah antara dua kelompok suporter. Ada beberapa insiden kecil tentu saja, tapi tak bereskalasi besar. “Saya cuma lihat ada bobotoh berantem dengan orang Medan dekat patung besar Senayan karena diledek supporter Medan, tapi ya cuma itu aja,” kenang Thanon Aria, bobotoh yang saat itu masih duduk di bangku SD.

Thanon bercerita bagaimana bobotoh menyerbu Senayan dari Bandung dengan bus, kendaraan pribadi sampai motor. Mereka berangkat dengan penuh semangat. Sepanjang perjalanan, satu sama lain saling berlomba menyalakan klakson. Malamnya, setelah pulang dari stadion menyaksikan kekalahan Persib, bobotoh kembali berduyun-duyun pulang, kali ini dengan diam, sunyi. Seperti gaang katincak, meminjam istilahnya Usep Romli.

Para pemain Persib akan malu bukan main jika Persib kalah. Indra Tohir, pelatih terakhir yang mempersembahkan gelar juara bagi Persib, mengaku betapa tidak nyamannya jika Persib kalah. “Orang-orang yang lewat di depan rumah kadang sengaja bicara keras soal kekalahan Persib. Anak saya gak akan mau masuk sekolah karena teman-temannya pasti ngeledek,” kata Indra.

Hal sama juga diceritakan Max Timisela, bontot dari kuartet keluarga Timisela yang menjadi legenda Persib. Max mengaku tak berani ke luar rumah jika Persib kalah. “Telinga pasti panas. Baru jalan ke luar gang orang-orang sudah sibuk bertanya tentang kekalahan Persib,” kenang Max, gelandang hebat yang sempat diminati Werder Bremen ini.

Tapi jangan diceritakan saat Persib berhasil menjuarai Divisi Utama Perserikatan 1986 dengan mengalahkan Perseman Manokwari. Gelar pertama sejak 1961 itu membuat atmosfir Bandung meledak dalam kegembiraan luar biasa, sebuah kegembiraan yang mencerminkan dengan sempurna hubungan antara sepak bola dengan sebuah kota, sebuah masyarakat, bahkan sebuah kebudayaan.

Sepanjang jalan dari Jakarta sampai Bandung via jalur Puncak penuh dengan konvoi para bobotoh. Keesokan harinya, Bandung seperti berwarna biru. Koran-koran yang dijual di Bandung ludes selepas Subuh. Rekor oplah penjualan Pikiran Rakyat juga karena peristiwa Persib menjadi juara Perserikatan 1990 mengalahkan Persebaya di partai final. Bandung sempurna merayakan pesta saat seluruh anggota tim diarak keliling kota di atas mobil bak terbuka.

Hal sama selalu terulang tiap kali Persib menjadi juaradi tahun-tahun berikutnya: 1994 (gelar juara terakhir era Perserikatan) dan 1995 (gelar juara pertama di era Liga Indonesia).

****
Pada 17 Juli 1993, tahun-tahun terakhir era Perserikatan, sejumlah bobotoh yang biasa menempati tribun selatan Siliwangi sepakat mendirikan Viking Persib Club, fans club Persib pertama di Indonesia. Adapun pelopor dari pendiriannya antara lain Ayi Beutik, Heru Joko, Dodi Pesa Rokhdian, Hendra Bule, Aris Primat dan beberapa nama lainnya. Nama Viking diambil dari nama suku bangsa yang mendiami kawasan skandinavia di Eropa Utara yang dikenal berani, gigih, solid, pantang menyerah dan gemar menjelajah.

Pendirian Viking ini bukan hanya menandai fase baru bobotoh, tapi juga menandai mode baru dalam dunia suporter di Indonesia. Seiring munculnya Liga Indonesia, dunia sepak bola Indonesia menjadi lebih menarik dan semarak. Klub-klub baru berkesempatan tampil di kasta tertinggi sepak bola tanah air. Fenomena ini ditindaklanjuti oleh suporter-suporter klub lain yang juga mendirikan fans club masing-masing.

Atmosfir stadion lebih menarik dengan chant-chant, atribut, serta alat-alat musik yang sengaja dibawa. Di era ini pula perseteruan suporter menjadi jauh lebih berbahaya dibanding tahun-tahun sebelumnya. Angka kerusuhan suporter meningkat, kadang kala bahkan terjadi saat tidak ada pertandingan. Jika di era perserikatan bobotoh berseteru dengan supporter Persebaya, PSM dan terutama PSM, rivalitas di era fans club berubah petanya. Sejak era 2000an, rivalitas antara bobotoh Persib dan suporter Persija mulai menghiasi pemberitaan sepak bola di Indonesia.

Di Bandung sendiri, menyusul pendirian Viking, bermunculan beberapa kelompok suporter (firm) baru, misalnya Bomber (Bobotoh Maung Bandung Bersatu). Beberapa tahun terakhir, bermunculan kelompok-kelompok kecil yang mencerminkan sub-kultur khas perkotaan, di mana sepak bola beririsan dengan kebudayaan popular lainnya, terutama musik. Di Eropa, fenomena ini sering disebut sebagai “casual”. Di Bandung bermunculan beberapa firm bergaya casual, seperti Flower City Casual [FCC], TS 1, Second Squad sampai Viking Frontline.

Kendati demikian, bobotoh sebagai sebuah sub-kultur tidak pernah hilang dan memang tidak akan pernah tergantikan. Salah seorang eksponen FCC mengaku, kendati secara khas menggunakan atribut, chant dan gaya yang berbeda, mereka tetap mengakui bobotoh sebagai identitas pokok mereka.

Dalam bahasa Sunda, “bobotoh” secara sederhana diartikan sebagai “pendukung”, ‘suporter”. Menurut Kamus Umum Basa Sunda terbitan Lembaga Basa jeung Sastra Sunda, “bobotoh” berarti “purah ngagedean hate atawa ngahudang sumanget ka nu rek atawa keur ngadu jajaten” (berperan membesarkan hati atau membangun semangat bagi mereka yang akan atau sedang berlomba).

Di tengah makin merajelalanya pengaruh sepak bola Eropa dalam dunia suporter Indonesia, para suporter Persib tahu benar “bobotoh” bukan sekadar nama, melainkan juga sebuah konsep.

Kristen Stewart

 

Kristen Jaymes Stewart (lahir 9 April 1990; umur 23 tahun) merupakan seorang aktris berkebangsaan Amerika Serikat yang menjadi sangat terkenal saat bermain di film Twilight yang diadaptasi dari novel karya Stephenie Meyer sebagai Isabella Swan atau biasa disingkat Bella Swan, film-film utamanya antara lain Panic Room, Catch That Kid, Speak, Zathura, The Messengers dan Into the Wild. Dia dilahirkan di Los Angeles. Dia berkarier di dunia film sejak tahun 2001.

Filmografi

Tahun Judul Sebagai Catatan
2001 The Safety of Objects Sam Jennings limited release
2002 Panic Room Sarah Altman
2003 Cold Creek Manor Kristen Tilson
2004 Speak Melinda Sordino premiered on Showtime/Lifetime
Catch That Kid Maddy
Undertow Lila limited release
2005 Fierce People Maya Osbourne
Zathura Lisa
2007 The Messengers Jess Solomon
In the Land of Women Lucy Hardwicke
The Cake Eaters Georgia
Into the Wild Tracy Tatro
Cutlass Young Robin short film
2008 Jumper Sophie cameo
What Just Happened? Zoe completed
Yellow Handkerchief Martine completed
Twilight Isabella Swan/Bella Swan completed 2009 Adventureland Em Lewin
The Twilight Saga: New Moon Isabella Swan/Bella Swan completed
2010 Welcome to the Rileys Mallory completed
Runaways Joan Jett completed
The Twilight Saga: Eclipse Isabella Swan/Bella Swan post-production
K-11 Butterfly pre-production
2011 The Twilight Saga: Breaking Dawn Part 1 Isabella Swan (Cullen)/Bella Swan (Cullen) completed
2012 The Twilight Saga: Breaking Dawn Part 2 Isabella Swan (Cullen)/Bella Swan (Cullen)

Robert Pattinson

Robert Thomas-Pattinson (lahir di London, Inggris, 13 Mei 1986; umur 26 tahun) adalah pemeran, model dan musikus Inggris, terkenal dalam perannya sebagai Cedric Diggory dalam film Harry Potter and the Goblet of Fire. Dia bermain sebagai Edward Cullen dalam film adaptasi dari Twilight, sebuah novel karya Stephenie Meyer,Dia merasa titik balik keseriusannya berakting dimulai ketika dia mendapat pengakuan sebagai Bast Actor di Stasbourg Internasional Film Festival ( ajang pernghargaan bergengsi tingkat internasional ) lewat film How To Be tahun 2008, Produksi Inggris. .Ia juga menyanyi dan komposer di soundtrack Twilight 2 buah lagu, Never Think dan Let Me Sign. Sekarang ia sedang berpacaran dengan Kristen Stewart lawan mainnya di Twilight. Aktor yang memiliki tinggi 185 cm ini menyukai spaghetti dan musik rap serta blues. Ia juga menyukai warna abu-abu.


Filmografi


Tahun Film Peran Catatan
2004 Vanity Fair Rawdy Crawley Only seen on DVD release
Ring of the Nibelungs Giselher Television film
2005 Harry Potter and the Goblet of Fire Cedric Diggory
2006 The Haunted Airman Toby Jugg Television film
2007 The Bad Mother's Handbook Daniel Gale Television film
Harry Potter and the Order of the Phoenix Cedric Diggory Cameo
2008 How To Be Art Strasbourg Film Festival Award for Best Actor[1]
Twilight Edward Cullen Hollywood Film Award for New Hollywood
MTV Movie Award for Breakthrough Performance Male
MTV Movie Award for Best Kiss (with Kristen Stewart)
MTV Movie Award for Best Fight (with Cam Gigandet)
People's Choice Award for Favourite On-Screen-Team (Shared with: Taylor Lautner and Kristen Stewart)
Scream Award for Best Fantasy Actor
Teen Choice Award for Choice Hottie
Teen Choice Award for Choice Movie Actor Drama
Teen Choice Award for Movie Liplock (with Kristen Stewart)
Teen Choice Award for Choice Movie Rumble (with Cam Gigandet)
Nominated - Empire Award for Best Newcomer[2]
Nominated - People's Choice Award for Favourite Movie Actor
Nominated - Scream Award for Best Ensemble Cast
2009 Little Ashes Salvador Dalí
The Twilight Saga: New Moon Edward Cullen Russia's Georges Award for Best Foreign Actor
Nominated - Empire Award for Best Actor[3]
Nominated - Nickelodeon Kids' Choice Awards for Cutest Couple (Shared with Kristen Stewart)
Nominated - Golden Raspberry Award for Worst Screen Couple (Shared with Kristen Stewart)
2010 Remember Me Tyler Hawkins Executive producer
The Twilight Saga: Eclipse Edward Cullen post-production
2011 Bel Ami Georges Duroy filming
Water For Elephants Jacob Jankowski pre-production
The Twilight Saga: Breaking Dawn' Edward Cullen

pre-production
2012 The twilight saga:breaking Dawn part 2' Edward cullen