Kamis, 02 Mei 2013


Bobotoh: Sebuah Nama, Sebuah Konsep

Di bangku cadangan, Robbie Gaspar mencoba memejamkan mata. Di sekelilingnya, pada bangku-bangku stadion Siliwangi, tidak ada ribuan bobotoh. Laga Persib vs Persipura [29/4] memang digelar tanpa penonton. Gaspar sengaja memejamkan mata untuk menghayati suara bobotoh bernyanyi, menyalakan mercon dan kembang api sepanjang pertandingan di sekeliling Stadion Siliwangi.

“One of the most surreal experiences i have experienced: No fans in the stadium but we can hear you,” kata Gaspar, gelandang berpaspor Australia yang musim ini memperkuat Persib.

Kendati laga Persib vs Persipura digelar tanpa penonton, toh bobotoh tetap berdatangan. Satu jam sebelum pertandingan, seribuan bobotoh konvoi jalan kaki keliling Siliwangi sembari. Saya berjumpa dengan 12 orang bobotoh yang berangkat dari Jogjakarta pada malam sebelum pertandingan.

Bobotoh dan Persib memang tak mungkin dipisahkan. Jauh sebelum fans club bertebaran dan menjadi tren di seluruh Indonesia, bobotoh sudah lebih dulu eksis. Majalah “Olah Raga”, media massa khusus olahraga yang diterbitkan oleh Otto Iskandar Dinata pada 1937, sudah memberitakan keberadaan bobotoh yang hadir mendukung Persib Bandung yang bermain di daerah Tegalega dan Ciroyom.

Ami Raksanagara, dalam esai menarik “Kuring, Apa Jeung Persib” [Saya, Ayah dan Persib] di Majalah Mangle edisi 2366, mengisahkan pengalaman masa kecilnya menonton Persib bersama sang ayah dan adiknya pada tahun 1950-an. Ami Raksanagara, penyair Sunda ini, menceritakan antusiasme bobotoh pada Persib tak berkurang dari waktu ke waktu, hanya cara mengekspresikannya saja yang dari waktu ke waktu terus berubah.

Lain lagi kenangan Usep Romli, sastrawan Sunda kelahiran Garut, yang juga rutin menonton Persib pada dekade 1960-an. Usep menulis: “Jika Persib me¬nang, cukup bersorak-sorai di dalam stadion. Dilanjutkan pada waktu pulang dengan cara mengibar-ngibarkan sapu tangan atau koran. Jika Persib kalah, cukup dengan membungkam. Stadion sepi bagai ‘gaang katincak’ [serangga terinjak].”

Dalam tulisan mengenang masa remajanya menonton Persib, Usep harus berangkat dari Garut sejak pukul 11 siang. Numpang truk pasir atau sayuran. Turun daerah Cicadas lalu jalan kaki ke arah Sidolig [stadion lama Persib]. Pulangnya ke Limbangan Garut keesokan harinya, naik kereta api dari Kiaracondong. Turun di Cibatu. Jalan kaki ke Limbangan, atau (kalau kebetulan ada) ikut truk pasir hingga daerah Sasakbeusi.

Pada era 1980an, masa keemasan Persib, Siliwangi selalu penuh dengan penonton. Persib saat itu dipenuhi bintang-bintang lokal dari Sukowiyono, Adeng Hudaya sampai bintang-bintang muda seperti Adjat Sudrajat. Pada salah laga di musim 1985, penonton yang membludak sampai tepi lapangan menghambat jalannya pertandingan. Bobotoh baru bisa tenang saat Gubernur Jawa Barat, Solihin GP, datang ke Siliwangi dengan menggunakan helikopter yang mendarat di Siliwangi.

Jika Persib bertanding di Jakarta, khususnya pada putaran final Divisi Utama, bobotoh selalu membirukan Senayan. Rombongan bobotoh terbanyak berangkat bersama-sama dari Sidolig. Atmosfir Bandung pun penuh dengan pembicaraan tentang Persib. Jelang laga final Perserikatan 1985 nan legendaris yang mempertemukan Persib vs PSMS, mesjid-mesjid di Bandung menyerukan kepada warga sekitar untuk mendoakan Persib.

Laga final Divisi Utama Perserikatan 1985 antara Persib dan PSMS Medan memang akan dikenang sebagai salah satu laga hebat dalam sejarah sepak bola Indonesia. Senayan disesaki lebih dari 120 ribu penonton, mayoritas bobotoh. Laga itu dicatat sebagai rekor dunia partai sepakbola amatir paling banyak ditonton menurut buku resmi AFC terbitan tahun 1987. Laga harus terhenti beberapa kali karena penonton merengsek sampai ke dalam lapangan.

Persib kalah secara tragis melalui adu penalti, tapi tidak ada kerusakan dan kerusuhan yang berdarah antara dua kelompok suporter. Ada beberapa insiden kecil tentu saja, tapi tak bereskalasi besar. “Saya cuma lihat ada bobotoh berantem dengan orang Medan dekat patung besar Senayan karena diledek supporter Medan, tapi ya cuma itu aja,” kenang Thanon Aria, bobotoh yang saat itu masih duduk di bangku SD.

Thanon bercerita bagaimana bobotoh menyerbu Senayan dari Bandung dengan bus, kendaraan pribadi sampai motor. Mereka berangkat dengan penuh semangat. Sepanjang perjalanan, satu sama lain saling berlomba menyalakan klakson. Malamnya, setelah pulang dari stadion menyaksikan kekalahan Persib, bobotoh kembali berduyun-duyun pulang, kali ini dengan diam, sunyi. Seperti gaang katincak, meminjam istilahnya Usep Romli.

Para pemain Persib akan malu bukan main jika Persib kalah. Indra Tohir, pelatih terakhir yang mempersembahkan gelar juara bagi Persib, mengaku betapa tidak nyamannya jika Persib kalah. “Orang-orang yang lewat di depan rumah kadang sengaja bicara keras soal kekalahan Persib. Anak saya gak akan mau masuk sekolah karena teman-temannya pasti ngeledek,” kata Indra.

Hal sama juga diceritakan Max Timisela, bontot dari kuartet keluarga Timisela yang menjadi legenda Persib. Max mengaku tak berani ke luar rumah jika Persib kalah. “Telinga pasti panas. Baru jalan ke luar gang orang-orang sudah sibuk bertanya tentang kekalahan Persib,” kenang Max, gelandang hebat yang sempat diminati Werder Bremen ini.

Tapi jangan diceritakan saat Persib berhasil menjuarai Divisi Utama Perserikatan 1986 dengan mengalahkan Perseman Manokwari. Gelar pertama sejak 1961 itu membuat atmosfir Bandung meledak dalam kegembiraan luar biasa, sebuah kegembiraan yang mencerminkan dengan sempurna hubungan antara sepak bola dengan sebuah kota, sebuah masyarakat, bahkan sebuah kebudayaan.

Sepanjang jalan dari Jakarta sampai Bandung via jalur Puncak penuh dengan konvoi para bobotoh. Keesokan harinya, Bandung seperti berwarna biru. Koran-koran yang dijual di Bandung ludes selepas Subuh. Rekor oplah penjualan Pikiran Rakyat juga karena peristiwa Persib menjadi juara Perserikatan 1990 mengalahkan Persebaya di partai final. Bandung sempurna merayakan pesta saat seluruh anggota tim diarak keliling kota di atas mobil bak terbuka.

Hal sama selalu terulang tiap kali Persib menjadi juaradi tahun-tahun berikutnya: 1994 (gelar juara terakhir era Perserikatan) dan 1995 (gelar juara pertama di era Liga Indonesia).

****
Pada 17 Juli 1993, tahun-tahun terakhir era Perserikatan, sejumlah bobotoh yang biasa menempati tribun selatan Siliwangi sepakat mendirikan Viking Persib Club, fans club Persib pertama di Indonesia. Adapun pelopor dari pendiriannya antara lain Ayi Beutik, Heru Joko, Dodi Pesa Rokhdian, Hendra Bule, Aris Primat dan beberapa nama lainnya. Nama Viking diambil dari nama suku bangsa yang mendiami kawasan skandinavia di Eropa Utara yang dikenal berani, gigih, solid, pantang menyerah dan gemar menjelajah.

Pendirian Viking ini bukan hanya menandai fase baru bobotoh, tapi juga menandai mode baru dalam dunia suporter di Indonesia. Seiring munculnya Liga Indonesia, dunia sepak bola Indonesia menjadi lebih menarik dan semarak. Klub-klub baru berkesempatan tampil di kasta tertinggi sepak bola tanah air. Fenomena ini ditindaklanjuti oleh suporter-suporter klub lain yang juga mendirikan fans club masing-masing.

Atmosfir stadion lebih menarik dengan chant-chant, atribut, serta alat-alat musik yang sengaja dibawa. Di era ini pula perseteruan suporter menjadi jauh lebih berbahaya dibanding tahun-tahun sebelumnya. Angka kerusuhan suporter meningkat, kadang kala bahkan terjadi saat tidak ada pertandingan. Jika di era perserikatan bobotoh berseteru dengan supporter Persebaya, PSM dan terutama PSM, rivalitas di era fans club berubah petanya. Sejak era 2000an, rivalitas antara bobotoh Persib dan suporter Persija mulai menghiasi pemberitaan sepak bola di Indonesia.

Di Bandung sendiri, menyusul pendirian Viking, bermunculan beberapa kelompok suporter (firm) baru, misalnya Bomber (Bobotoh Maung Bandung Bersatu). Beberapa tahun terakhir, bermunculan kelompok-kelompok kecil yang mencerminkan sub-kultur khas perkotaan, di mana sepak bola beririsan dengan kebudayaan popular lainnya, terutama musik. Di Eropa, fenomena ini sering disebut sebagai “casual”. Di Bandung bermunculan beberapa firm bergaya casual, seperti Flower City Casual [FCC], TS 1, Second Squad sampai Viking Frontline.

Kendati demikian, bobotoh sebagai sebuah sub-kultur tidak pernah hilang dan memang tidak akan pernah tergantikan. Salah seorang eksponen FCC mengaku, kendati secara khas menggunakan atribut, chant dan gaya yang berbeda, mereka tetap mengakui bobotoh sebagai identitas pokok mereka.

Dalam bahasa Sunda, “bobotoh” secara sederhana diartikan sebagai “pendukung”, ‘suporter”. Menurut Kamus Umum Basa Sunda terbitan Lembaga Basa jeung Sastra Sunda, “bobotoh” berarti “purah ngagedean hate atawa ngahudang sumanget ka nu rek atawa keur ngadu jajaten” (berperan membesarkan hati atau membangun semangat bagi mereka yang akan atau sedang berlomba).

Di tengah makin merajelalanya pengaruh sepak bola Eropa dalam dunia suporter Indonesia, para suporter Persib tahu benar “bobotoh” bukan sekadar nama, melainkan juga sebuah konsep.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar