Strategi Tiki-Taka Barcelona dan Timnas Spanyol
Apa bedanya sepakbola milik Spanyol dengan sepakbola milik Indonesia?
Sementara Spanyol sudah menampilkan permainan cantik bertajuk
“Tiki-Taka”, Indonesia masih terjebak dalam teka-teki. Tiki-taka (atau tiqui-taca dalam
pelafalan bahasa Spanyol) belakangan mendunia sejak Barcelona dan tim
nasional Spanyol memeragakannya di lapangan sepakbola. Gaya permainan
tersebut terkenal dengan operan-operan pendek dan pergerakan pemainnya
dalam mencari ruang-ruang kosong di lapangan. Dengan satu atau dua
sentuhan, bola pun sudah ada di depan area lawan. Sungguh membuat
takjub.
Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Tiki-Taka adalah pengembangan sepakbola modern terhadap Total Football. Setidaknya, setiap tim yang memeragakan gaya sepakbola tersebut mewajibkan para pemainnya bergerak secara fluid (cair atau mengalir) dan menerapkan pressing tinggi.
Sid Lowe, seorang kolumnis Inggris yang berbasis di Spanyol, menyebut
bahwa gaya permainan tersebut, plus agresivitas khas Spanyol, telah
membuat La Furia Roja memenangi Piala Dunia 2010.
Demikianlah
sepakbola modern. Apa yang dibahas sudah sampai pada titik evolusi
permainan hingga evolusi posisi pemain. Dunia sepakbola kini mengenal
istilah ‘false 10′ dan ‘false 9′, untuk seorang pengatur permainan dan penyerang yang tidak terpatok pada tugas aslinya–false 9 sering diartikan sebagai penyerang tengah yang kerap turun jauh ke lini kedua–, hingga ‘inverted winger’ untuk
seorang pemain sayap yang ditempatkan pada sisi lapangan yang
berseberangan dengan kemampuan kakinya–contoh: pemain sayap yang dominan
menggunakan kaki kanan ditempatkan sebagai sayap kiri.
Di luar
lapangan, banyak konsep menarik yang sudah diterapkan federasi negara
masing-masing demi memperbaiki permainan tim nasionalnya. Juergen
Klinsmann, ketika masih menangani tim nasional Jerman, pernah meminta
kepada DFB untuk mengenalkan skema permainan yang diinginkannya kepada
klub-klub Bundesliga. Hal serupa juga dilakukan RFEF (Federasi Sepakbola
Spanyol) yang meminta kepada tim nasional untuk remaja, di bawah usia
17, 19 dan 21 tahun memainkan pola yang sama dengan tim senior yang
sudah memenangi Piala Eropa 2008 dan Piala Dunia 2010.
Oleh
karenanya, jangan heran jika talenta-talenta Jerman dan Spanyol seperti
tidak ada habis-habisnya. Setelah Thomas Mueller, kini muncul Mario
Goetze. Setelah Andres Iniesta, kini muncul Iker Muniain, dan
demikianlah seterusnya. Apa yang mereka pikirkan sudah terfokus pada
hasil yang harus diperoleh di lapangan, tanpa persoalan remeh-temeh
lainnya. Kompetisi dijadikan ajang untuk mengasah kemampuan supaya
kualitas tim nasional juga tetap terjaga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar