Sabtu, 04 Mei 2013

Strategi Tiki-Taka Barcelona dan Timnas Spanyol 

Apa bedanya sepakbola milik Spanyol dengan sepakbola milik Indonesia? Sementara Spanyol sudah menampilkan permainan cantik bertajuk “Tiki-Taka”, Indonesia masih terjebak dalam teka-teki. Tiki-taka (atau tiqui-taca dalam pelafalan bahasa Spanyol) belakangan mendunia sejak Barcelona dan tim nasional Spanyol memeragakannya di lapangan sepakbola. Gaya permainan tersebut terkenal dengan operan-operan pendek dan pergerakan pemainnya dalam mencari ruang-ruang kosong di lapangan. Dengan satu atau dua sentuhan, bola pun sudah ada di depan area lawan. Sungguh membuat takjub.

Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Tiki-Taka adalah pengembangan sepakbola modern terhadap Total Football. Setidaknya, setiap tim yang memeragakan gaya sepakbola tersebut mewajibkan para pemainnya bergerak secara fluid (cair atau mengalir) dan menerapkan pressing tinggi. Sid Lowe, seorang kolumnis Inggris yang berbasis di Spanyol, menyebut bahwa gaya permainan tersebut, plus agresivitas khas Spanyol, telah membuat La Furia Roja memenangi Piala Dunia 2010.

Demikianlah sepakbola modern. Apa yang dibahas sudah sampai pada titik evolusi permainan hingga evolusi posisi pemain. Dunia sepakbola kini mengenal istilah ‘false 10′ dan ‘false 9′, untuk seorang pengatur permainan dan penyerang yang tidak terpatok pada tugas aslinya–false 9 sering diartikan sebagai penyerang tengah yang kerap turun jauh ke lini kedua–, hingga ‘inverted winger’ untuk seorang pemain sayap yang ditempatkan pada sisi lapangan yang berseberangan dengan kemampuan kakinya–contoh: pemain sayap yang dominan menggunakan kaki kanan ditempatkan sebagai sayap kiri.

Di luar lapangan, banyak konsep menarik yang sudah diterapkan federasi negara masing-masing demi memperbaiki permainan tim nasionalnya. Juergen Klinsmann, ketika masih menangani tim nasional Jerman, pernah meminta kepada DFB untuk mengenalkan skema permainan yang diinginkannya kepada klub-klub Bundesliga. Hal serupa juga dilakukan RFEF (Federasi Sepakbola Spanyol) yang meminta kepada tim nasional untuk remaja, di bawah usia 17, 19 dan 21 tahun memainkan pola yang sama dengan tim senior yang sudah memenangi Piala Eropa 2008 dan Piala Dunia 2010.

Oleh karenanya, jangan heran jika talenta-talenta Jerman dan Spanyol seperti tidak ada habis-habisnya. Setelah Thomas Mueller, kini muncul Mario Goetze. Setelah Andres Iniesta, kini muncul Iker Muniain, dan demikianlah seterusnya. Apa yang mereka pikirkan sudah terfokus pada hasil yang harus diperoleh di lapangan, tanpa persoalan remeh-temeh lainnya. Kompetisi dijadikan ajang untuk mengasah kemampuan supaya kualitas tim nasional juga tetap terjaga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar